Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Rabu, 07 Januari 2015

[Review] Rengganis: Altitude 3088

Rengganis: Altitude 3088 by Azzura Dayana

“Selalu ada keringanan untuk setiap beban. Selalu tersedia solusi untuk setiap masalah dan musibah. Alam juga seperti itu sifatnya.” (Hal. 216)

Penulis: Azzura Dayana
Penyunting Bahasa: Mastris Radyamas
Penata letak: Puji Lestari
Desain Sampul: Andhi Rasydan
Ilustrator: Naafi Nur Rahma
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: Pertama, Syawal 1435 H/ Agustus 2014
Jumlah hal.: 232 halaman
ISBN: 978-602-1614-26-6
Dia baru saja menyelinap keluar. Terbangun oleh gemerisik angin yang menabrak-nabrak tenda. Dua lapis jaket membungkus tubuhnya. Satu jaket polar dan satu jaket parka gunung. Tak ada seorang manusia lain pun yang terlihat. Seluruh penghuni kerajaan sang dewi telah tertidur.

Padangannya lurus ke depan. Kemudian, tiba-tiba saja tatapannya berubah menjadi tajam. Sangat tajam. Menatap lekat sesuatu. Atau lebih dari satu. Perlahan-lahan dia berjalan meninggalkan tenda. Meninggalkan teman-temannya yang tidur di dalam tenda. Menjejaki rerumputan basah dalam langkah-langkah pasti. Dermaga tua itu tujuannya. Mendekati tarikan magnet bercahaya. Memanggil-manggilnya dengan suara tak biasa.
Rengganis, pentas apa sebenarnya yang tengah dilangsungkan?

Hingg pagi hari datang, anak muda itu tak pernah kembali lagi ke tenda....

***

“A traveler without observation is like a bird without wings” (hal. 120)

Serombongan pemuda(i) berkumpul di Surabaya untuk memulai pendakian mereka ke Pegunungan Hyang. Lima laki-laki dan tiga perempuan yang menjadi satu tim dengan tujuan yang sama : menjejak Puncak Rengganis. Mereka adalah Fathur, Dewo, Dimas, Rafli, Acil, Ajeng, Nisa, dan Sonia. Delapan orang ini punya sifat yang berbeda-beda. Acil yang paling paham medan yang akan mereka lalui ditunjuk menjadi guide. Dewo didaulat menjadi pimpinan regu. Fathur sebagai asistennya. Nisa sebagai bendahara dan Ajeng sebagai komandan dalam hal masak-memasak. Yang lain bertugas sesuai kebutuhan tenaga bantuan yang sedang diperlukan saja.

Sejak awal mereka bergerak sebagai sebuah tim yang solid. Saling mengisi, hingga di tengah cerita Rafli sering menyelisihi instruksi Dewo. Ini sempat menimbulkan ketegangan. Ini lebih karena Rafli menyimpan ketertarikan pada Sonia. Hal ini membuat sikap dan reaksinya sedikit berlebihan dan mengganggu stabilitas kerja sama kelompok mereka. Interaksi kedelapan orang ini banyak diceritakan dalam novel ini.

Di samping itu hal lain yang disuguhkan dalam buku ini adalah keindahan yang digambarkan dapat ditemui selama perjalanan menuju Puncak Rengganis. Deskripsinya cukup jelas dan memantik rasa ingin tahu. Ini menjadi menarik sebab masih jarang yang membahas petualangan di jalur ini dalam bentuk novel. Umumnya lebih banyak membahas Semeru yang juga sesekali disebutkan dalam novel ini.

Namun yang paling banyak digambarkan adalah proses mereka menempuh perjalan menuju dan kembali dari Puncak Rengganis. Tentang informasi yang berseliweran tanpa terverifikasi lebih jauh akan adanya situs kerajaan yang dipimpin oleh perempuan bernama Dewi Rengganis. Tentang adanya sejumlah orang yang melihat sosok – sosok yang diduga Dewi Rengganis ataupun dayang-dayangnya. Namun keberadaan reruntuhan tersebut nyata adanya. Digambarkan pula adanya pengalaman mistis selama perjalanan mereka. Hingga puncaknya salah satu dari tim ini menghilang. Di saat itulah kerjasama tim mereka diuji. Sanggupkah mereka pulang dengan selamat dan lengkap?

***
“Leave nothing but footprint, take nothing but picture, kill nothing but ego,” (Hal. 208)
Bagi orang yang tidak pernah punya keyakinan diri untuk mengikuti satu pun pendakian, maka membaca novel Rengganis: Altitude 3088 ini membuat kalimat, “Buku bisa membawamu pergi ke manapun,” terbukti nyata. Membaca buku ini membuat saya menjadi anggota tambahan dalam petualangan Dewo dan kawan-kawan. Deskripsi yang cukup detail tentang perjalanan dan apa yang mereka temui selama pendakian memudahkan timbulnya perasaan tersebut.

Buku ini bagi orang yang sangat awam dalam kegiatan pendakian akan menjadi petualangan yang menarik. Pengetahuan-pengetahuan umum bagi pendaki pun banyak bertebaran di dalam buku ini. Hal ini menambah pengetahuan saya. Lihat saja penjelasan Fathur berikut,
“Seandainya kita tersesat atau kehabisan makanan saat di gunung, salah satu cara bertahan hidup alias sebagai survivor adalah mengikuti apa yang biasa dimakan oleh kera, monyet, lutung atau apa pun yang sebangsanya. Karena pencernaan mereka relatif sama dengan manusia. Jadi, tumbuhan yang menjadi makanan mereka insya Allah aman untuk pencernaan kita. ....  Kamu pastikan tumbuhan itu tidak gatal saat kamu gosokkan ke tangan. Dan juga pilih tumbuhan yang daun atau batangnya tidak berbulu. Yang seperti itu biasanya aman untuk pencernaan kita.” (hal. 215 -216)
“Benar. Allah menciptakan alam ini dengan prinsipp-prinsip keseimbangan. .... Di gunung, beberapa contoh terpapar nyata. Sumber air panas dan belerang biasanya ada di ketinggian, berkhasiat menyembuhkan penat di tubuh kita kala mendaki. Bunga lavender tumbuh di lembah basah, dan harumnya bunga ini bermanfaat melindungi tubuh kita dari serangan nyamuk hutan lembab atau tempat gelap. Tumbuhan cantigi, yang batangnya pendek namun sangat kokoh, tumbuh di ketinggian atau tebing, membantu pendaki untuk berpegangan. Bahkan walaupun pohonnya sudah  mati atau ditebang, batangnya masih tetap kuat. Dan, masih ingatkah kalian pada kebun-kebun tembakau selepas dari Baderan? Olesan tembakau bisa membuat kita terhindar dari serangan pacet yang banyak dijumpai pada musim hujan di trek sebelum sabana.” (Hal. 216 -217)
Ada sebuah point yang bagi saya bagai pedang bermata dua di dalam buku ini. Yaitu kehadiran delapan orang tokoh yang seolah menjadi pemeran utama bersama. Atau simplenya saya menyebutkan bahwa tim mereka adalah tokoh utama dalam cerita ini. Ini menarik karena penulis berhasil menggambarkan mereka memiliki karakter yang berbeda-beda meski akhirnya latar belakang setiap tokoh kurang tereksplorasi dengan baik. selain itu, meski mereka secara keseluruhan adalah sebuah tim dan sama-sama menjadi tokoh utama, namun ada tokoh yang lebih menonjol seperti Rafli dan Sonia karena pengalaman mereka lebih banyak “dibocorkan” atau sikapnya lebih mencolok.

Dibanding Sonia, tokoh Ajeng dan Nisa cukup tenggelam. Selain itu entah kenapa ada peluang konflik yang tidak diolah lebih jauh oleh penulis yakni hubungan yang terjalin antara Dewo, Nisa dan Ajeng. Sebab di awal cerita saya sempat mendapat “kode” bahwa bisa jadi Nisa menyukai Dewo (tapi bisa jadi saya yang salah membaca kode *selalu gak paham bahasa perkode-kodean*), sedangkan Dewo menyukai orang lain dalam tersebut.

Hm.. saya suka dengan apa yang saya baca di buku ini. Memberi saya sensasi petualangan yang asing namun tidak membuat saya bosan.

Btw, kok nggak dibahas gimana keseharian Nisa dan Ajeng sebagai perempuan berjilbab di dalam petualang ini? *penasaran* (^_^)

***

Sumber: http://atriadanbuku.blogspot.com/2014/12/rengganis-altitude-3088.html, diposkan oleh Atria Sartika pada Rabu 31 Desember 2014.
Thanks so much ya ^_^

[Review ALTITUDE 3676] Kisah Backpacker: Tanjung Bira Hingga Puncak Tertinggi Jawa


Sebuah Review Novel Altitude 3676 Takhta Mahameru Karya Azzura Dayana

Oleh Afifah Afra


Lahirnya sebuah karya, memang cermin zamannya. Apa yang terjadi pada sebuah masa, terdokumentasi dari karya-karya yang tercipta di masa tersebut. Maka, pekerjaan seorang penulis, khususnya fiksi, sebenarnya tak sekadar menjahit kata menjadi lembaran cerita yang enak dibaca dan karenanya membuat kita terhibur. Tetapi, seorang penulis sejatinya juga pendokumentasi kehidupan.

Bahwa pernah ada sebuah masa saat anak-anak muda di negeri ini ‘keranjingan’ ber-bacpacker, salah satunya berhasil dijepret oleh Azzura Dayana, novelis muda yang tinggal di tepi Sungai Musi, Palembang, dan dicetak dalam sebuah potret karya bertajuk “Altitude 3676 (Takhta Mahameru)”. Tajuk tersebut adalah judul baru dari edisi lama “Takhta Mahameru”, sebuah novel yang berhasil memenangkan sayembara novel  yang diselenggarakan Harian Republika sebagai juara kedua. Ketika novel tersebut di-republish oleh Penerbit Indiva Media Kreasi, novel tersebut diganti judul menjadi “Altitude 3676”, dengan tetap menyertakan judul lama sebagai identitas, karena novel ini memang telah dikenal cukup luas di kalangan para pembaca novel Indonesia. Altitude artinya ketinggian, 3676 meter adalah ketinggian dari Gunung Semeru, alias Mahameru, puncak tertinggi di Pulau Jawa.

Azzura Dayana memang sedang berada di track para juara. Edisi republish ini kembali berhasil menggondol predikat Fiksi Dewasa Terbaik di ajang penghargaan “IKAPI-IBF Award 2014” di Senayan, Jakarta, 1 Maret kemarin. Sementara, di Anugerah Pena 2013 yang diselenggarakan FLP di Bali kemarin, novel ini ikut menjadi nominator novel terbaik. Apa sebenarnya yang membuat  novel ini mendapat sambutan positif bukan hanya dari kalangan pembaca, tetapi juga juri berbagai event?

Novel ini bercerita tentang 3 tokoh, yang masing-masing menggunakan sudut pandang orang pertama dalam bertutur: Raja Ikhsan, Faras dan Mareta. Pada sebuah perjalanan, Faras bertemu dengan Mareta, dan akhirnya menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Mereka bertemu di Borobudur, lalu menuju Sulawesi Selatan, Tanjung Bira. Untuk apa Faras melakukan perjalanan begitu jauh, meninggalkan rumahnya di lereng Gunung Mahameru? Ternyata Faras mengikuti jejak yang tertinggal dari sebuah email. Faras begitu ingin bertemu dengan sosok yang mengiriminya email. Tentu bukan karena kebetulan si pengirim email adalah seorang Raja Ikhsan yang beberapa kali bertemu dengannya saat melakukan pendakian di Mahameru (lebih lazim dikenal sebagai Gunung Semeru). Tetapi karena suatu sebab….

Bagian inilah yang paling mengesankan saya membuat saya terhenyak dan nyaris menahan napas dari novel ini.

Raja Ikhsan, sosok yang ‘remuk-redam’, meninggalkan ingar-bingar kehidupan perkotaan dan mencoba mencari kedamaian di sejuknya Ranu Pane dan Ranu Kumbolo.  Di tempat itulah dia bertemu dengan seorang gadis 'ndeso', 'hanya' lulusan SMA, namun pintar, puitis dan menyukai sajak-sajak Kahlil Gibran. Gadis itu bernama Faras, yang berkali-kali harus berhadapan dengan Ikhsan, si bad boy yang menyebalkan.

Meski menyebalkan, pertemuan itu meninggalkan kesan di hati keduanya. Namun, persoalan sepenting apa yang akhirnya membuat Faras rela mengejar Ikhsan dengan cara mengikuti jejak yang tertinggal lewat email? Email tanpa berita apapun, kecuali foto-foto lokasi yang diyakini Faras sedang dikunjungi Ikhsan. 

Sebegitu istimewakah sosok Ikhsan di mata gadis selugu Faras? 

Kisah Backpacker
Daya tarik dari novel ini selanjutnya adalah perjalanan Faras dan Mareta yang enak disimak. Bagi yang menggemari aktivitas backpacker, ini bab yang paling menggirangkan. Saya sendiri menikmati betul bagian ini. Makasar dan Tanjung Bira dipaparkan lumayan detil dalam novel ini, termasuk adat-istiadat masyarakat Bugis yang mengagumkan. Juga pembuatan perahu pinisi yang legendaris, serta kecintaan masyarakat bugis terhadap laut. Sayangnya, justru narasi yang terlalu panjang ini seperti agak menutupi usaha Yana dalam mengeksploitasi Ranu Pane, Ranu Kumbolo serta berbagai lokasi di Gunung Mahameru yang semestinya menjadi setting dominan di novel ini.

Bisa membaca Altitude tanpa skip, itu pertanda bahwa saya bisa masuk ke dalam novel ini, menikmati setiap diksinya, dan berkelindan dalam setting dan tenggelam dalam kisahnya. Tetapi, beberapa kali harus mengernyitkan kening, karena dalam beberapa kerikil kecil seakan menjadi pengganjal kehalusan kisah ini. Nama Faras, bagi saya aneh. Orang Jawa, apalagi ndeso, jarang yang menggunakan nama itu. Mengapa tidak Saras atau Saraswati? Lebih ‘njawani’. Logat dan bahasa Jawa yang digunakan juga beberapa terasa kurang pas. Faras yang digambarkan sangat lembut dan santun, mestinya tidak berbahasa ngoko, tetapi krama halus. 

Faras yang ‘pasrah’ terlalu baik, dan nyaris tak punya perlawanan juga menggemaskan. Jika ada sedikit gejolak yang dimunculkan, mungkin akan terasa lebih manusiawi dan diterima nalar, ketimbang saat dia ditampilkan ‘suci tanpa noda’.

Lepas dari berbagai kekurangan, saya suka dengan novel ini, dan yakin bahwa Azzura Dayana memiliki masa depan yang sangat cerah di dunia kepenulisan, khususnya fiksi, di Indonesia, bahkan dunia.

***

Sumber: http://www.afifahafra.net/2014/04/kisah-para-backpacker-dari-tanjung-bira.html