Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Selasa, 25 Maret 2014

[Galeri Foto] Ranu Kumbolo, Gunung Semeru

Ranu Kumbolo, sebuah danau alami nan elok yang luasnya sekira 14 hektare ini merupakan salah satu surganya pegunungan yang menjadi favorit para pendaki Nusantara. Danau berbentuk hati ini dapat ditemui di jalur pendakian Gunung Semeru, pada ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut.

Galeri berikut adalah foto-foto Ranu Kumbolo yang saya ambil dari beberapa sisi menggunakan kamera Nikon kesayangan saya, pada pendakian Semeru bersama sobat-sobat tercinta.














Gunung Semeru sendiri terletak di perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Untuk tiba di Ranu Kumbolo, pendaki dapat memulai berjalan kaki selama kurang lebih enam jam dari desa Ranu Pane, desa terakhir yang dapat diakses kendaraan.

Ranu Kumbolo pada malam-malam di musim kemarau dapat mencapai suhu terdinginnya hingga -15 derajat celsius. Ekosistem di sekitar danau masih sangat alami, dilingkupi beberapa perbukitan hijau yang dirimbuni pepohonan dan bebungaan, termasuk di antaranya sedikit vegetasi edelweiss.

Di musim-musim puncak pendakian, pinggiran danau ini selalu dipadati tenda-tenda pendaki. Sebagai pecinta alam, diharapkan mereka senantiasa dapat menjaga lingkungan di lokasi-lokasi mana pun di sekitar gunung ini termasuk Ranu Kumbolo dengan bertanggung jawab terhadap sampah mereka. Jika tidak, bisa dipastikan, keelokan dan kealamian danau ini akan lambat laun sirna, lalu hanya menjadi cerita kenangan untuk anak cucu kita. Hmm, semoga saja tidak demikian.


Jumat, 21 Maret 2014

Catatan Pendakian Gunung Papandayan


Trekking ringan ke Gunung Papandayan kali ini hanya dilakoni oleh empat orang saja, yaitu saya, Kak Ian, dan Mbak Nur, plus Kang Dedi, seorang teman dari Garut. Maklum, rencana pendakian kali ini cukup mendadak, jadi beberapa teman lain menyatakan tidak bisa bergabung karena sudah punya agenda masing-masing.

Malam itu hujan deras mengguyur Jakarta Timur, tepatnya di kawasan tempat kami menunggu bus menuju Garut di luar terminal Kampung Rambutan. Tubuh kami dalam keadaan kuyup dan sedikit letih, sebab sebelum tiba di sini kami mesti berlari-larian sepanjang jembatan transit Halte Benhil-Semanggi yang aduhaai panjangnya, demi mengejar TransJakarta terakhir jurusan Cililitan. Supaya lebih cepat, kami lantas turun di depan Tamini Square, nyambung mikrolet menuju Terminal Kampung Rambutan. Kebetulan tadi saya mendapat suvenir berupa payung di acara yang kami ikuti malam itu sebelum bertolak ke terminal ini, jadi resmilah payung itu di-launching demi melindungi kepala dari hujan. Sementara ransel, pundak, sandal, dan beberapa bagian pakaian kami yang lain tetap saja kebasahan. Niatnya sih menunggu di luar terminal biar lebih cepat dapat bus tanpa menunggu busnya ngetem. Ternyata hujan begini, hmm… mau jalan kaki ke dalam juga sudah tanggung dan jalannya buanjir air hujan begitu….

Jam 23.30, bus jurusan Garut via Tol Cipularang yang ditunggu tiba di hadapan kami. Meski ternyata bus butut tersebut bocor dan membuat kami tidak bisa tidur, saya bersyukur karena setidaknya upaya kami berkejaran menuju Garut tengah malam begini sudah berhasil.

Selamat Pagi, Garut

Dulu, pertama kali ke Garut di tahun 2009, saya menjuluki kota ini sebagai Kota Seribu Gunung, saking banyaknya gunung yang menghiasi daerah ini. Belum lagi bukit-bukitnya. Saya merasakan sejuk yang nyaman di sini. Tapi nyatanya pada kunjungan kali kedua, hanya pagi dan malamnya yang dingin (ya iyyalah!), sementara siang di Garut terasa amat panas selayak Jakarta saja… :D

Perjalanan kami menuju Pos Lapor Pendakian Gunung Papandayan ternyata baru dimulai sekitar pukul 6 pagi. Sebelumnya kami bersih-bersih sejenak (bukan mandi) di markas kawan-kawan pendaki muda Garut, dan mencari sarapan bubur ayam sambil memandangi kegagahan Gunung Guntur yang telah memesona saya sejak pertemuan pertama. Hehehe. Garut pagi ini sungguh cerah, pun demikian view Gunung Guntur di depan mata kami ini. Padahal kemarin katanya Garut hujan terus dan Gunung Papandayan sendiri ditutup beberapa hari karena sempat reaktif terhadap aktivitas Gunung Kelud, termasuk terkena kiriman hujan abunya.

Jam 8 pagi kami tiba di pos lapor. Kami berempat dikenakan bea masuk Rp10.000. Tadinya kami tidak berniat menyewa seorang guide, sebab katanya kan gunung berketinggian 2.622 meter di atas permukaan laut ini medannya tidak ekstrem dan jalurnya sangat jelas. Tapi toh ketika kami sudah mulai berjalan, seorang guide tanpa diminta mengikuti kami. Keramahannya menyebabkan kami tidak mungkin memintanya berhenti. Lagipula, setelah melihat kawah terbuka yang sedemikian luasnya, yang katanya trek sangat jelas pun bisa jadi akan kabur bagi orang yang sama sekali masih buta tentang jalur Papandayan. Jadi, ya, daripada kita trial and error dan menyia-nyiakan sekian menit untuk salah, lebih baik guide ini diterima dengan senang hati. Sebab rencana pendakian ini memang tiktok, naik turun sehari tanpa kemping, mengingat waktu yang kami punya sangat terbatas. Cerita-cerita yang mengalir dari mulut sang guide pun nyatanya banyak menambah referensi kami tentang gunung ini khususnya, dan tentang pendakian gunung dan Garut pada umumnya.


Kawah Demi Kawah

Kawah Papandayan memang membentang sejauh mata memandang. Luas sekali. Di beberapa sisi tampak kawah ini masih dikawal oleh tebing-tebing dan punggung pegunungan hijau yang tinggi, di mana yang tertinggi di antaranya otomatis adalah puncaknya. Namun yang menjadi puncak gunung Papandayan ini justru tidak selalu digapai oleh para pendakinya, mengingat sering sekali ada larangan naik ke puncak sebab rawannya aktivitas vulkanik gunung ini, juga karena di puncak sebenarnya kita juga tidak disajikan view yang lebih spektakuler. Puncaknya hanya berupa tanah sempit yang dilintasi jalan setapak. Saat kami mendaki kali ini pun, puncak Papandayan ditutup untuk pendakian.

Trek Papandayan adalah jalan tanah kering nan berbatu-batu. Sekilas, tampak treknya sangat mudah dan terlihat datar-datar saja. Padahal saat dijalani ternyata sedikit demi sedikit menanjak dan berliku. Batu-batu vulkanik rapuhnya pun harus ditapaki dengan kehati-hatian dan ketepatan pemilihan alas kaki, sebab jika tidak, tentunya kita akan dengan mudah tergelincir.


Hutan Mati & Tegal Alun

Setelah berhasil melintasi kawah-kawah lama dalam terkaman garang matahari di tanah terbuka seperti ini, tujuan kami adalah Hutan Mati. Sebuah bekas hutan lebat yang kini menyisakan ribuan batang pohon menghitam tanpa daun lagi. Bersusun dengan kerapian alaminya sendiri sehingga tampak amat eksotik. Hutan Mati ini terbentuk akibat letusan Gunung Papandayan pada 2002 lalu.

Hutan Mati
Hutan Mati
Puas menikmati eksotika Hutan Mati, perjalanan kembali diteruskan. Break hanya sesekali dilakukan untuk menghela napas dan mengunyah perbekalan. Kami memang tidak mengunjungi Pondok Salada, dataran luas yang menjadi favorit pendaki untuk kemping di Papandayan. Selain karena tidak nge-camp, jalurnya pun berlawanan dengan Tegal Alun. Jadi, kami langsung tembak Tegal Alun saja. Jalur menuju surganya Papandayan ini mulai menukik. Untungnya, barang bawaan kami memang cukup minimal sehingga tidak terlalu membebani.

Jam 11 siang itu, rasa lelah kami otomatis terbayar oleh sajian hamparan edelweiss. Ah, betapa rindunya saya pada bunga-bunga abadi ini. Konon Tegal Alun adalah habitat bunga edelweiss terbanyak se-Jawa Barat, mengalahkan Padang Suryakencana di Gunung Gede. Tapi, melihat kenyataannya di Tegal Alun kini, sepertinya faktanya tidak begitu lagi, sebab vegetasi ini telah banyak berkurang sejak letusan terakhir Papandayan yang memusnahkan sekian jumlah edelweiss. Belum lagi ulah tangan jahil manusia yang dengan sadar ‘menculik’ edelweiss dan membawanya ke peradaban.

Edelweiss di Tegal Alun
Edelweiss Tegal Alun belum banyak yang mekar pada bulan Maret begini. Puncak musim mekarnya kalau tidak salah bulan Mei. Tapi itu tidak menyurutkan antusiasme saya untuk hunting rimbunan tercantiknya dan membuat foto-foto makro edelweiss.



Sungai-sungai Belerang

Turun dari Tegal Alun, sayang sekali kalau tidak menjelajahi spot-spot lain dan langsung pulang. Maka, setelah lagi-lagi menembus Hutan Mati dan tiba di Kawah Lama, langkah kami menyerong ke kanan, menuruni kawah, melintasi sungai-sungai kecil yang eloknya tingkat tinggi, danau-danau kawah kecil berwarna hijau dan merah, sumber belerang panas yang menguarkan asap yang ketika melintasinya kami justru harus menahan napas supaya tidak pingsan (baunya ciin!), juga tumpukan belerang salju yang luar biasa cantiknya. Untungnya, belerang salju ini tidak begitu menguar baunya.

Belerang salju
Belerang salju
Sementara sungai-sungai yang dilewati adalah sungai belerang panas yang bisa dipakai untuk berendam tapi tidak boleh diminum. Ada juga sungai yang airnya aman untuk diminum. Lainnya adalah sungai-sungai perawan yang macam-macam warna air dan bebatuannya.



Danau Kawah Baru

Akhirnya… inilah tempat berlabuh kami yang terakhir. Sebuah danau luas nan cantik berwarna hijau, dilingkupi oleh tebing dan perbukitan. Rasanya pingin nyebur, eh tapi tidak bawa baju ganti dink... :-) Udara yang dingin memaksa kami merapatkan kembali jaket. Respiro saya bahkan rasanya masih kurang tebal. Tetapi kehangatan hati sebab kebahagiaan perjalanan nyatanya telah menjadi obat. Danau ini baru terbentuk setelah letusan Papandayan pada 2002 juga, sama seperti terbentuknya Hutan Mati.



Setengah satu siang, kami kembali ngebut turun gunung. Yang namanya turun gunung biasanya memang lebih mudah dan mengasyikkan. Seperti turun dari Tegal Alun menuju Hutan Mati tadi, misalnya, tinggal melompat-lompat saja menuruni tanjakan. Tapi setelah bertemu jalur kawah lagi, kita mesti lebih hati-hati karena tanahnya berbatu-batu. Untungnya, untuk pulang ke Pos Lapor Pendakian dari Kawah Baru ini kami bisa melewati jalur pintas yang tanahnya tidak serapuh trek naik di sebelah sana tadi. Jadi untuk ngebut pun, masih terhitung aman.

Jam setengah dua siang, kami tiba di Pos Lapor. Pendakian yang cepat tapi tetap saja menyenangkan. Alhamdulillah.




Senin, 10 Maret 2014

[Review Buku] Kesturi dan Kepodang Kuning


Judul novel: Kesturi dan Kepodang Kuning
Penulis: Afifah Afra
Penerbit: Elex Media Komputindo
Harga: Rp49.800


----------



Kata orang pintar, jika ada orang yang mengatakan ‘kau ini idealis’, sebenarnya, dia sedang mengatakan, ‘kau ini masih manusia’. (hal. 241)

Jadi, orang pragmatis itu sebenarnya mayat hidup yang bergentayangan, ya? Atau drakula yang selalu bergairah mengisap darah orang yang lemah? (hal. 241-242)

**

Demikian beberapa kalimat yang sempat menyekap perhatian saya saat sedang mengunyah lembar demi lembar sajian kata dalam buku ini. Serius dan menggigit. Kesturi dan Kepodang Kuning, sebuah novel yang tetap tampil elegan dan lembut meski konflik utamanya bersinggungan dengan tema berbau politis yang sebenarnya cukup berat. Berkisah tentang persahabatan seorang bayi cantik dari tepian hutan desa dengan burung-burung kepodang, konflik pribadi kehidupan sang ibu muda, dan dibalut dengan konflik eksternal terkait wilayah desa dan proyek para politisi hitam mengeruk keuntungan dengan mengeksploitasinya atas nama pembangunan.

Mbak Afifah Afra selaku penulisnya, lagi-lagi kali ini hadir dengan karyanya yang tak pernah seringan kapas. Selalu ada ‘napas berat’ yang ia sebar dalam rangkaian alurnya untuk dihirup pembaca. Bahwa hidup memang tak pernah selalu sederhana, kecuali dengan kesyukuran. Menariknya, napas berat ini, dengan kecerdasan penulisnya, berhasil disuguhkan menjadi jamuan yang cukup mudah dicerna, tidak dengan bahasa berat ala politisi. Dan meski konflik itu tetap saja mengundang sejuta miris dalam dada dan prihatin yang membuncah, selayaknya fiksi ia tetap menghadirkan ‘keindahan’ warna lain yang menjadi penyeimbangnya. Di sinilah sebab mengapa mengunyah fiksi tetap menjadi aktivitas yang sungkan ditinggalkan oleh para pecintanya, karena seolah selalu ada oasis tempat kesegaran itu hidup dan membahagiakan di sela-sela kepahitan. Atau setidaknya, jika pun tidak tersaji dengan ending yang melegakan atau romantisme dan harmoni di titik-titik tertentu alurnya, keindahan kelindan diksi sang penulis adalah keseimbangan dan kebahagiaan fiksi itu sendiri.

Seperti demikian jugalah Kesturi dan Kepodang Kuning. Kepahitan itu ada sejak kehidupan yang sepi milik Sriyani, ibu bayi Kesturi, dimulai. Orangtuanya yang telah tiada, dua adiknya yang hidup jauh dari sisinya, menyebabkan ia mesti menggantung harapan pada Pak Suseno dan istrinya yang menjadi majikan tempat ia bernaung menyambung hidup. Semakin pahit ketika babak pelecehan seksual dialaminya justru di saat ia belum punya pemahaman apa-apa. Lantas ia hidup menepi bersama bayinya dan para kepodang. Oh iya, sebagai info, baru melalui buku inilah saya tahu ada satwa unik bernama kepodang, yang statusnya mulai endemik pula. Penggambaran tentang kepodang itu sendiri di dalam novel ini cukup memancing kepenasaran saya untuk suatu saat bisa melihat langsung burung jenis ini.

Tokoh-tokoh lainnya dihadirkan dengan kepribadian yang cukup hidup. Selain warga desa, ada juga profil dokter, bidan, pejabat, pengusaha, aktivis LSM, dan juga ekolog. Hanya saja, saya menemukan dalam dialog-dialog antar beberapa tokoh, sepertinya banyak sekali kemiripan gaya verbal satu sama lain. Alias, tak begitu khas antara masing-masing tokoh, kecuali beberapa. Padahal, dengan begitu banyak tokoh yang terlibat dan peran mereka yang sangat esensial, semestinya kekhasan itu menjadi semacam pembeda, sehingga setidaknya pembaca tidak dengan mudah lupa (atau melupakan) siapa-siapa saja tokoh yang silih berganti mengambil posisi dalam bacaannya tadi.

Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu yang menyorot langsung sejumlah tokoh secara bergantian, sesungguhnya memang terasa lebih variatif saat dinikmati pembaca. Penggunaan kata ‘aku’ dan ‘saya’ kerap dipakai secara jamak dan pula bergantian saat tokoh-tokohnya berdialog. Akan tetapi, di beberapa tempat seringkali kata ganti ‘aku’ atau ‘saya’ ini mendadak berubah menjadi ‘daku’. Jujur, penggunaan kata ‘daku’ ini terasa agak menggelitik dan terkesan janggal. Selain munculnya tidak pas dan sekonyong-konyong, kata ‘daku’ ini kerap muncul dari tokoh-tokoh yang berbeda. Artinya, bukan kekhasan dari satu tokoh saja.

Yang paling menarik dari novel ini selain deskripsi kepodangnya, adalah pada endingnya yang menarik. Meski ini terkesan melompati kejadian-kejadian pahit yang mungkin memang akan mengundang ‘kejengkelan’ pembaca apabila dihadirkan secara gamblang sebagai antiklimaks. Dan, meski saya menamatkan novel ini tidak dalam waktu secepat yang saya inginkan tadinya, saya ucapkan selamat kepada sang penulis untuk karyanya yang cukup berbeda warna ini. Selamat untuk segala kelebihan dan kekurangan karya ini. Sebab, ya, dengan kelebihan sekaligus kekurangannyalah, maka memang benar itulah karya manusia. 

Terus berkarya, Mbak Afra! :-)

-------

Azzura Dayana
Palembang, 10 Maret 2014

Jumat, 07 Maret 2014

Altitude 3676 - Buku Fiksi Dewasa Terbaik 2014

Di atas podium panggung utama di Malam Penganugerahan IBF Award, 1 Maret 2014, Istora Senayan, Jakarta, saya memandang hadirin yang ramai sekali saat itu. Sedikit getar di tangan saya mengiringi, mungkin tersebab rasa yang begitu terkesan pada suasana. Kemenangan Altitude 3676 Takhta Mahameru sebagai buku fiksi dewasa terbaik 2014 versi IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) in this big annual national event, Islamic Book Fair adalah kado istimewa dari Allah SWT yang sebenarnya tak pernah saya sangka-saya. Demikian yang saya sampaikan di podium. Kemudian saya menambahkan, bahwa kado tersebut juga saya persembahkan untuk suami saya yang kebetulan berulang tahun tepat di tanggal yang sama dengan digelarnya acara tersebut. Harap saya, semoga ini dapat menjadi salah satu milad terindah baginya yang akan ia kenang sepanjang hidup.



Masih selaksa terima kasih yang ingin saya sampaikan (dan benar-benar saya sampaikan di podium 'panas' itu), kepada penerbit saya, Indiva Media Kreasi, terutama Mbak Afifah Afra selaku CEO yang sekaligus merupakan kakak dan sahabat baik bagi saya. Juga kepada staf Indiva yang telah bekerja keras sejak memroses pra-cetak buku ini, hingga ke proses cetak, hingga promosi dan marketingnya. Ini adalah kemenangan kita bersama. Atas ikhtiar kita.

Terima kasih pula kepada rumah kedua saya, rumah tempat kreativitas kepenulisan saya bernaung dan berkembang, Forum Lingkar Pena. Organisasi kepenulisan yang mendunia dan berpusat di Indonesia. Kepada Forum Lingkar Pena Sumatera Selatan, terima kasih untuk kebersamaan kita.

Terima kasih kepada sahabat-sahabat saya para petualang, backpacker, traveler, pendaki, pecinta alam sejati. Atas kebersamaan yang hangat dan bersemangat menjelajah sudut-sudut dan puncak-puncak negeri. Tersebab salah satu penjelajahan kita bersama, yakni pendakian Mahameru, maka novel ini dapat hadir ke dunia.

sumber: Liliek, Indiva

Di samping kelebihannya, Altitude 3676 tentu masih memiliki banyak sekali kekurangan. Sebagaimana kita manusia yang senantiasa diliputi kekurangan demi kekurangan. Kadang saya merasa, Allah terlalu baik kepada saya. Untuk satu kerja saya ini, Dia telah menganugerahkan dua*, tanpa saya pernah merencanakan untuk meminta atau mendapatkannya. Terjadi begitu saja lewat tangan-tangan mereka orang-orang baik di sekitar saya. Ah, Allah, maafkan jika kadang saya lalai. Maafkan jika kadang kami lupa. Semestinya memang tak ada nikmat-Mu yang kami dustakan sehingga kami dengan mudahnya 'semena-mena' terhadap hidup kami sendiri. Ampuun... Ya Rabb.

Maka seperti doa teman-teman dan saudara saya atas penghargaan ini, semoga saya istiqomah menulis. Menuliskan kebaikan, tepatnya. Mencerahkan lewat tulisan. Menginspirasi penulis lain. Meraih barokah-Nya. Aamiin.


Palembang, Maret 2014

--------------



catatan:
* Penghargaan pertama yang diperoleh novel ini adalah Juara Kedua Lomba Menulis Novel tingkat nasional yang diadakan oleh Republika pada 2011-2012. Saat itu novel ini terbit pertama kali dengan judul Tahta Mahameru. Satu tahun kemudian, kontrak selesai, dan saya berpindah penerbit. Novel ini pun diterbitkan kembali dengan sejumlah revisi editing dan layout yang penting, dengan kaver baru dan judul baru. Altitude 3676. Sekitar setengah tahun setelah terbitnya, novel ini meraih penghargaan lagi di ajang IBF Award 2014.

Untuk memesan buku ini dengan tanda tangan penulis, bisa melalui Twitter @AzzuraDshop atau sms ke 085367094116

Kamis, 06 Maret 2014

[Galeri Foto] Tegal Alun, Gunung Papandayan

Tegal Alun, surganya Gunung Papandayan, terletak di punggung puncak Papandayan di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut. Gunung Papandayan sendiri adalah salah satu gunung berapi teraktif di Indonesia, dengan ketinggiannya mencapai 2.622 meter di atas permukaan laut (telah mengalami penurunan ketinggian semenjak gunung ini terakhir meletus pada tahun 2002 silam).





Gunung ini tak pelak adalah salah satu habitat terluas bunga edelweiss di Pulau Jawa. Habitat terbanyak edelweiss lainnya seperti kita ketahui adalah juga di Padang Suryakencana Gunung Gede, Lembah Mandalawangi Gunung Pangrango, Gunung Sindoro, dan lain-lain. Namun, sejak erupsi 2002, vegetasi ini berkurang cukup drastis dari semula.





Edelweiss Papandayan biasanya mengalami musim mekar sekitar bulan April dan Mei. Ketika kami datang pada awal Maret ini, edelweiss yang kami temui baru sebagian kecil yang mekar. Lainnya belum mekar sama sekali, sementara yang lainnya lagi mekar dalam kondisi dan warna yang kering.

Rasa lelah melintasi jalur pendakian Papandayan yang berbatu-batu seperti terbayar begitu saja ketika kaki telah mencapai alun-alun bunga abadi nan memesona ini. Saya pun segera beraksi dengan Nikon saya, dan menciptakan beberapa foto mikro.




Subhanallah... Bersyukur sekali telah berkesempatan menikmati salah satu 'surga dunia' ini. Semoga edelweiss di sini tetap lestari, dijaga oleh alam dan para pendaki-pendaki sejati. :-) 





*Siap-siap menulis catatan pendakian Papandayan setelah ini.