Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Minggu, 30 Juni 2013

Sindoro: Sajak Bunga Sajak Hati


Dari Senduro mencium bunga senduro
Dari Boyolali hingga puncak Sindoro memetik aroma bunga sindoro
Sepertinya mereka bunga yang sama meski di tempat berbeda
Namun yang kuhirau di jiwa tentu hanya tentang indahnya
Bahwa langkah ini begitu asing bila bukan bersama kalian

Di sepanjang Krendegan Sumbing hingga hutan lamtoro Sindoro
Beginilah yang terbetik bersama luruhnya gerimis atau serbuan terik
Bahwa makna perjalanan ini adalah menemukan kembali hati
Membungkam mati rasa, menyalakan cita rasa
Yang kerap diterbangkan debu-debu kota

Inilah yang kita lihat: Hamparan bunga di lereng hingga tebing kawah
Edelweiss, cantigi, hingga kuntum-kuntum sindoro
Matahari terbit keemasan melunturkan malam
Lautan awan yang mengantar kita ke atas negeri dongeng
Inilah cita-cita kita sejak berjalan dari bawah

Hilang semua lelah dan penat
Sirna semua sakit dan cemas
Berganti senyum dan syukur

Jatuh lutut di tanah puncak, bertekuk
Jatuh air dari kelopak mata, bersimbah lega
Di sinilah bahagia pendakian dirasa

Sejauh ini kita berjalan
Seberat ini kita memanjat
Setinggi ini kita sampai
Seluas ini kita melihat

Sekali lagi kita tiba di salah satu tanah tinggi yang dicipta-Nya
Satu lagi kita alami serangkai kisah berharga anak manusia
Pahamlah aku pada makna tangis di puncak
Atau sekembali lagi ke titik awal pendakian
Saat hanya Dia dan hati yang mengerti


Sabtu, 29 Juni 2013

Belitung Timur: Kopi, Timah, dan Laskar Pelangi*

Oleh Azzura Dayana

Jangan menolak makanan atau minuman yang disajikan tuan rumah.
Berhati-hatilah, masih banyak hal mistik di Belitung, lebih mistik dari
Bangka yang penduduknya sudah sedikit lebih ramai.

Dua petuah itu sempat dicamkan beberapa orang ke kepala saya, meski nyatanya dalam perjalanan saya dan teman-teman dari Tanjungpandan, ibukota Belitung, menuju Gantong sepertinya saya nyaris melupakannya. Sepanjang 1,5 jam jarak tempuh itu, diwarnai terik yang berseling gerimis bahkan hujan lebat, pemandangan yang kami lihat adalah kelengangan, hutan berdaun kering kuning-merah eksotis, kebun sawit, dan tanah-tanah terlantar bekas penambangan timah yang membentuk lubang-lubang besar alias kolong. Inilah wajah nyata Belitung yang di zaman dahulu begitu ditimang sayang Belanda karena kekayaan alamnya.

Jejak Laskar Pelangi
Replika SD Muhammadiyah Gantong kini berdiri di sebuah tanah lapang tinggi berpasir, di belakang kantor kepala desa Selinsing, Gantong, Belitung Timur. Fisik bangunan uzur ini cukup memprihatinkan. Hanya ada dua ruang kelas di sana—satu terbuka, lainnya terkunci. Sisi kanan luar dinding ditopang kayu penyangga supaya tidak roboh. Di samping kiri menempel sebuah ruang kecil yang berfungsi sebagai kantor. Saya mengintip ke dalam melalui dinding yang bolong. Propertinya berantakan, sama seperti di ruang-ruang lainnya. Di ruang kelas yang terbuka, terdapat papan seukuran meja yang bertulis SD Laskar Pelangi, dan papan nama sekolah bercat hijau bertulis SD Muhammadiyah Gantong. Papan inilah yang kemudian kami gotong ke luar dan digantungkan di depan untuk digunakan sebagai background saat berfoto.


SD Muhammadiyah memang tidak lagi beroperasi. Bangunan sekolah aslinya kini dipelihara di halaman SD Negeri 9 desa Selinsing, kemudian dibangun replikanya di sini untuk digunakan dalam syuting Laskar Pelangi.
Kemudian kami mengunjungi Bukit Samak yang terkenal dengan julukan A1. Di sinilah Belanda mendirikan rumah-rumah bagi para elite perusahaan tambang timah di Manggar. Ironinya, kompleks ini tak lain adalah bukti perlakuan diskriminasi atas kelas-kelas pekerja timah. Para karyawan kelas atas (yang sebagian besarnya orang-orang asing pula) dilimpahi kesejahteraan, sedangkan para buruh Melayu dianaktirikan.
Menurun ke barat, kami tiba di Pantai Lalang yang berpasir putih lembut. Cemara dan kelapa berderet sekitar 300 meter dari bibir pantai yang menghadap ke timur ini. Pantai ini sering dijadikan tempat berbagai kegiatan seperti Festival Manggar atau lomba perahu tradisional. Terdapat juga fasilitas olahraga seperti lapangan voli, futsal, dan fasilitas panjat dinding.


Di sebuah warung tepi pantai itu, kami menikmati es kelapa muda dan ikan jebong bakar berukuran besar. Pasangan suami istri pemilik warung bercerita tentang Pulau Dapur, lokasi yang sempat kami pertanyakan selama perjalanan. Di daerah yang terdapat banyak padang keremunting dengan keindahannya yang khas Belitung itu sedang berlangsung syuting mini seri Laskar Pelangi. Sayang, kami sudah terlambat karena malam sudah datang.

Singgah di Pasar Manggar
Tempat yang paling mudah ditemukan di Manggar adalah warung kopi. Di pasar Manggar, deretan warung kopi memenuhi sisi jalan. Kami mampir ke salah satunya. Sebagian dari kami memesan kopi susu, lainnya kopi hitam alias ‘kopi O’—begitu urang Belitong biasa menyebutnya. Sebagai penyuka kopi hitam, tentu saya lebih tertarik merasai kekhasan kopi hitamnya.
Saya memperhatikan si bapak penjual meracik kopinya. Ia menuangkan bubuk kopi ke dalam sebuah ceret tembaga, mengaduknya bersama gula di sana, lalu dengan menggunakan saringan dituangkannya ke gelas-gelas bening untuk kami. Untuk pemesan kopi susu, ia meracik kopi kedua kalinya di dalam ceret lalu menuangkannya ke gelas-gelas yang telah dituangi susu terlebih dahulu.
Kopi ini tidak sekental dan sepekat yang saya kira. Saya menghayati benar sesapan pertama dari gelas saya, mencoba mengurai rasanya. Asam, itu yang utama. Cukup manis, gurih, dan tak berampas karena telah disaring. Tak terasa, karena sangat menikmati, segelas kopi panas itu pun tandas segera.


Masyarakat di sini sangat gemar minum kopi. Namun, esensi yang jauh lebih penting dari itu adalah kebersamaan dalam kehangatan obrolan di warung kopi. Minum kopi sembari ngobrol adalah media bersantai yang telah mengakar dan menjadi kebutuhan. Keseharian yang terbukti di mata pengunjung ibukota kabupaten Belitung Timur ini.

Apa Kabar Aroma Mistis itu?
Setelah berpisah dengan tim, di hari terakhir saya di Belitung, saya melihat-lihat kota Tanjung Pandan ditemani Nina, seorang muslimah yang mengajar di sekolah luar biasa tempat Jeffry (pemeran Harun di film Laskar Pelangi) belajar. Di pusat kota ada sebuah tugu berpilar lima dengan replika batu satam raksasa di atasnya. Batu satam adalah jenis batu yang dipercaya memiliki kekuatan menolak sihir/ilmu hitam. Entah berapa banyak warga yang masih meyakininya. Kini, batu yang bisa ditemukan di antara galian timah jika mujur itu banyak digunakan sebagai ornamen cincin, kalung, dan sebagainya, dengan harga yang cukup tinggi.


Belitung terbilang masih cukup sepi dibandingkan Bangka. Banyak jalan raya ke luar kota yang belum diterangi listrik. Pulang pergi ke luar kota beramai-ramai bisa jadi akan berbeda ceritanya jika sendirian. Tapi yang kami percaya adalah, Allah Maha Menjaga, selalu. Tak ada yang bisa menolak bala kecuali dengan perlindungan-Nya. Modernitas sedikit demi sedikit mulai menyusup ke kehidupan pulau ini. Meski sangat kami rasakan, betapa ramah dan simpel para warga lokalnya. Tak ada rasa-rasa negatif, alhamdulillah.

Beberapa hari kemudian, dalam perjalanan darat saya meninggalkan Belitung, beberapa kali saya mendengar alunan Berkelana-nya Rhoma Irama yang diputar orang. Ingatan saya langsung melayang pada Ikal kecil, tokoh utama Laskar Pelangi yang sangat mengidolakan Bang Haji. Pun saya teringat akan pertemuan kami dengan Pak Jafri (pemeran kepala sekolah Ikal di film Laskar Pelangi) dan Pak Suhendi, teman SMA Andrea Hirata, beberapa hari yang lalu di atas kapal menuju Belitung. Obrolan yang berkesan, pengalaman yang tak terlupakan.


--------------

*artikel ini dimuat di rubrik Perjalanan, majalah Ummi, Jakarta 2012

Menjelajah Percikan Surga di Mahameru*

by Azzura Dayana


Ada Afrika kecil yang memesona di Nusantara. 
Pun eksotika serupa alam New Zealand, terhampar di sini.


            Pemerintah telah meresmikan kurang lebih lima puluh taman nasional, dengan keelokan dan keunggulan masing-masing. Mungkin sedikit dari kita yang tahu itu. Saya sendiri, yang mengaku berstatus backpacker, baru menjejakkan kaki di lima taman nasional saja, salah satunya Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur. Di sinilah saya merasa melihat salah satu percikan surga yang dihadiahkan Allah untuk negeri ini.
            Tepatnya dua kali sudah saya menjelajah TNBTS; Desember 2009 ke Gunung Bromo, dan Mei lalu, misi pendakian Gunung Semeru.
            Bromo,  gunung wisata berketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut (mapl), bisa dicapai dengan berjalan kaki dari gerbang TNBTS menuju kaldera (lautan pasir) dari desa Cemoro Lawang, Ngadisari, Probolinggo.
           Jika tidak ingin berjalan kaki, kita bisa menyewa jeep atau naik kuda melintasi lautan pasir hingga tiba di pangkal tangga menuju puncak Bromo dan melihat kawahnya. Itulah mengapa Bromo disebut sebagai gunung wisata, bukan gunung pendakian.

kawah Bromo
            Di tahun terakhir ini kawah Bromo terus menyemburkan abu vulkanik yang cukup membahayakan sehingga wisatawan dilarang menaiki gunung tersebut. Tapi jangan khawatir, sunrise dan view rangkaian gunung-gunung TNBTS—Gunung Batok, Bromo hingga Semeru nun jauh di sana—tetap bisa kita nikmati dari atas Gunung Penanjakan dengan menyewa jeep menjelang fajar, menuju titik pengamatan yang biasanya selalu ramai saat weekend itu.
            Perjalanan bisa kita lanjutkan dengan mengitari sisi kiri punggungan Bromo. Akan banyak kita temui tukang ojek yang siap mengantar melintasi lautan pasir yang seolah berasap jika siang telah tiba, dan seolah menderu pelan karena ditiup angin padang dan lembah. Di sinilah tempat syuting salah satu film fenomenal, Pasir Berbisik.
            Kemudian, kita akan tiba di padang rumput sabana yang sangat luas. Selama terus berjalan, pemandangan tebing Pegunungan Tengger setinggi rata-rata tiga ratus meter ada di sisi kiri, sementara hijaunya punggungan Bromo di sisi kanan.

sabana Bromo

bukit Teletubbies

            Di kaki punggungan itu terdapat bukit-bukit kecil hijau tanpa pohon yang terlihat begitu memanjakan mata. Konon, kata para pelancong, kehijauan yang memukau ini sungguh tak kalah dengan alam yang disajikan oleh New Zealand.

Mendaki Mahameru
            Di penjelajahan kedua ke TNBTS, saya dan tim yang terdiri dari tiga puluh enam orang mendaki Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa (3.676 mapl). Kami tiba di Ranu Pane—desa tertinggi di kawasan TNBTS dan desa terakhir sebelum memulai pendakian ke Semeru—sore hari dengan menaiki sebuah jeep hardtop dan landrover dari Tumpang.
            Hujan yang sangat lebat menemani perjalanan kami yang berdiri di bak terbuka mobil sampai tiba di Ranu Pane. Dalam keadaan kuyup di suhu sore berkisar 15°celcius serta jalur pendakian yang pastinya sangat licin, kami terpaksa menunda pendakian hingga besok subuh.

Ranu Pane/Ranu Pani
            Normalnya, butuh dua hari untuk melintasi jalur pendakian mulai dari Ranu Pane hingga Mahameru (nama lain Semeru atau puncaknya) dan 1 hari untuk menuruninya. Ketika naik, pendaki biasanya menginap satu malam di Ranu Kumbolo, dan baru melanjutkan pendakian esok paginya. Perjalanan turun lebih pendek karena tanpa menginap lagi dan, tentu saja, jalur turun biasanya terasa lebih mudah dibandingkan mendaki.
            Namun, karena kami baru memulai pendakian keesokan harinya, otomatis kami kehilangan waktu untuk menginap satu malam di tepi Ranu Kumbolo. Tempat yang sering disebut-sebut sebagai surganya Mahameru itu adalah sebuah danau alami seluas empat belas hektare yang membentang di lembah antara beberapa perbukitan indah di jalur menuju Semeru.
            Airnya yang jernih, bersih (karena pendaki dilarang membuang sampah—atau memang secara sadar tidak pernah mau membuang jenis kotoran apapun ke air danau), selalu digunakan untuk bekal pendakian selanjutnya, bahkan tanpa perlu direbus terlebih dahulu.
            Perjalanan dari desa Ranu Pane menuju danau di ketinggian 2.400 mapl ini kurang lebih setengah hari, melewati jalan setapak di punggung bukit. Mendirikan shalat di tepi danau ini, di atas rerumputan, adalah pengalaman yang tak terlupakan buat saya.
Ranu Kumbolo

Sabana Oro-oro Ombo
            Perjalanan kami teruskan menuju padang rumput sabana yang bernama Oro-oro Ombo. Seperti melihat belantara Afrika kecil di hamparan rumput yang sangat luas ini. Ilalang dan bebungaan liar memenuhinya. Beruang dan macan pun masih sering muncul di sini saat senja.
            Setelah terus berjalan melewati hutan cemara dan jalur berkelok, kami tiba di Kalimati, padang luas tempat bermukim rerimbunan bunga edelweiss. Kawasan ini juga sering menjadi tempat nge-camp pendaki sebelum menuju puncak dini hari.
            Dari sini, bersiaplah untuk makin menggigil dan ngos-ngosan. Jalur pendakian mulai terjal dan sangat tak bersahabat. Tanah yang dilewati adalah tanjakan-tanjakan curam, tinggi, tanpa jeda, dan sering hanya berupa celah sempit yang muat untuk satu tubuh—itu pun pundak kita kadang masih harus bersenggolan dengan tanah. Beberapa jam setelah terus menghadapi medan seperti ini, barulah kita tiba di trek pasir.
            Puncak Mahameru adalah berupa gunung kerucut yang berstruktur pasir. Saat menjejakkan kaki di atas pasir, kebanyakan kaki kita akan merosot. Melangkah setengah meter, merosot seperempat meter. Melangkah lima jengkal, merosot tiga jengkal. Begitu seterusnya. Ketahanan fisik, keteguhan dan keyakinan mental, serta bekal air minum dan makanan kecil secukupnya adalah modal yang amat diperlukan.

golden sunrise
            Menyaksikan golden sunrise dari trek pasir Mahameru menjadi pengalaman paling spektakuler seumur hidup saya. Sementara itu, awan-awan berarak jelas dan menghampar di depan mata saya, di bawah kaki dan tubuh saya!
            Negeri di atas awan. Subhanallah. Selamat datang di Mahameru….



*Dimuat di rubrik Perjalanan, majalah Ummi edisi 06-XXIII, Jakarta, Oktober 2011

Ke Mana Ibuku Pergi di Bawah Hujan*

(by Azzura Dayana)

Aku berbagi sosoknya bersamamu, di bawah selimut malam
yang pernah kita gelar bersama
disaksikan sejuta bintang, seribu kunang, sepuluh bayang

Lalu hujan beranjak dari tempatnya dilahirkan
melipir mendekat
dan menculik angan selaksa kita
menyiram kekuatan 
menjadi kelumpuhan
serupa luka disiram cuka

Sempat kubagi sosoknya bersamamu, bulan
dan ucapmu ia terbaik yang kupunya
layak kujaga seperti malam yang kaukawal

Tetapi berangsur secepat itu masa adamu
engkaupun tertutup hujan hingga tiadamu
seiring hilangnya sosok itu

Ke mana ia pergi di bawah nyanyian parau hujan ini
benarkah ia
tak percaya payungku, tak yakini selimutku
anak kecil tanpa rumah

Ataukah hujan memang telah sesumbarkan
janji manis sejuta bunga
menggantikan dahanku yang rapuh
burung kecil tanpa paruh

----

Hujan Kotaku, 17 Desember 2012
*untuk Ri putra kecil tanpa ibunya



photo from deviantart.com


















Jumat, 14 Juni 2013

Puisi: Untuk Dempo

lagi-lagi menemukan sifat kalian dalam tiap satu meter langkah
siapa sesungguhnya yang menjaga lereng ini selain macan kumbang
aku tak melihat keganasannya membuatmu takut
untuk tidak berlaku gagal sebagai pendaki

lagi-lagi mataku menangkap satu per satu peninggalan
di air yang menjadi sumber hidup mereka yang berjalan lurus
pemandian putri yang hilang keangkerannya
untuk sekadar menggagalkan nyali kalian wahai tamu

siapa sesungguhnya yang memeluk lembah ini selain macan putih
selain puyang-puyang yang tinggal nama
selain batu gajah yang menyejarah di mata mereka yang berjalan lurus
selain putri berselendang yang menghuni tempat mandi

apa yang kalian buang dalam tiap satu meter di reranting ini
adalah bau menyengat yang mengudarakan sifatmu
adalah yang tak terurai lekang oleh kejaran waktu
menjadi air mata mereka yang menjaganya
bahkan sejak engkau belum menjejak bumi

tiap yang tertinggal olehmu adalah sampah atau berkah
yang tergapai tanganmu adalah amanah
sebab merasalah sebagai rumah bila hatimu tertanam
terasalah sebagai tanah agar engkau merendah


 by Azzura Dayana

Mt. Dempo, captured by Azzura Dayana