Social Icons

Pages

Azzura Dayana

Azzura Dayana

Jumat, 29 Juni 2012

Kultwit #muslimah

9). Kalian cantik selamanya ya . Bersyukur mnjdi madrasah generasi. Bhagia sbg penopang peradaban.
8). Kotor tanah tak rusak baju. Memasak tak patahkn smua kuku. Terik tak kalahkn binarmu. Air wudhu mngembalikn smua pesonamu. 
7). Memandang positif akan penilaian. Menyimpul hikmah dari kejadian. Menyeimbang kerja dan rumah. Menyayang anak2 dan keluarga.
6). Diammu adalah berpikir, bicaramu adalah hikmah. Doamu kekuatanmu. Kepedulian adalah lakumu. 
5). Wajah cerah, telapak tangan yg menjabat erat saudarinya hingga berguguran dosa2. Selebihnya, busanamu memanjang. 
4). Tak prnh mnjdi wanita biasa, . Sebab bicaramu adlh ketegasan, keyakinan, sekaligus ketulusan dan kelembutan.
3). Mata2 yg antusias thd ilmu dan kebajikan. Berkumpul utk brbagi. Brsama utk brharga. 
2). Yg brjln dimuka bumi tnpa angkuh. Tenang&mantap. Kata2 wibawa, tnpa derai tawa&celoteh canda yg mngundang lirikan. 
1). Bukanlah wanita biasa, mereka yg memilih berada dlm kekuatan iman... Kalianlah, para ...



Rabu, 13 Juni 2012

[Movie Review] Di Timur Matahari


ReviewReviewReviewReviewjun 27, '12 11:30 am
for everyone
Category:Movies
Genre:Other
“Hitam kulit, keriting rambut, aku Papua…” (sepenggal lagu yang dinyanyikan para tokoh dalam film Di Timur Matahari)

Antara Roaming dan Dimanjakan
Butuh kerja keras untuk memahami film ini. Pertama tentu terkait bahasa pengantarnya yaitu bahasa Indonesia yang bercampur dengan kata-kata dan logat Indonesia wilayah bagian timur. Jujur, sebenarnya saya sangat menikmatinya. Saya suka logat mereka, dan dulu pernah saya praktikkan hal yang sama sewaktu beberapa kali ngetrip ke Makassar, yang notabene adalah gerbang Indonesia bagian timur. Masalahnya, di film ini, jika saya terlalu fokus menghayati bahasa tersebut (sebagai upaya memahami jalan cerita juga), saya berisiko kehilangan banyak momen untuk menikmati bentangan alam Papua yang disajikan tanpa berhemat-hemat sepanjang film. Dan tentu sebaliknya, jika saya terlalu fokus menghayati bentangan alam nan memukau itu (lembah-lembah dan pegunungan bergurat-gurat yang mirip Dieng, padang savana hijau kekuningan yang mengingatkan pada kekayaan Semeru, dan rangkaian perbukitan serupa di Merbabu), saya pasti akan lengah memahami bahasa pengantar cerita.
Inilah tantangannya. Kita dituntut untuk bekerja keras mencerna bahasa, alur cerita, sekaligus setumpuk suguhan pemandangan. Disuruh ‘bekerja’ sekaligus dimanjakan J. Sepanjang durasi dua jam. Saya sempat terlalu menikmati saat-saat ‘dimanjakan’ itu, dan membuat saya missedterhadap beberapa detail kecil alurnya. Bagaimana tidak, sebagai seorang pembelajar fotografi level awal, saya menemukan bahwa photography director film ini pastilah seorang fotografer yang sangat andal, atau setidaknya ia bekerja dibantu para fotografer yang pandai menentukan bestangle. Gambar-gambar dengan teknik focal point bertaburan di sini: bentangan alam Papua disorot dalam landscaped photos dengan objek bergerak di satu titik kecil di tepi/sudut. Contoh gambar keren yang disajikan dengan teknik ini, misalnya: tampil secara fullscreen savana luas yang dikelilingi pegunungan hijau bergurat-gurat, dan dari titik kecil di tepian kanan gambar ini bocah Mazmur dan teman-temannya berlarian melintasi savana itu sambil menyanyikan ‘Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru…’ hingga selesai. Adegan ini berlangsung setelah mereka memutuskan untuk bernyanyi saja demi mengisi kekosongan guru pengganti mereka yang pulang ke Jayapura dan tak pernah kembali lagi. Inilah adegan pertama yang sukses membuat saya merinding (bahkan saat mengetik tentang adegan ini pun saya kembali merinding mengingatnya). Contoh gambar keren lainnya, yaitu saat kamera men-shoot dari sudut pandang berjarak beberapa puluh centimeter saja dari atas permukaan air sungai, demi menampilkan geliat air sungai lebar nan deras, sementara di atasnya membentang jembatan gantung melengkung, dan tokoh tertentu melintasi jembatan itu sebagai objek bergerak berukuran kecil.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, berbagai gambar pemandangan memukau seperti ini disajikan terus-menerus, sampai saya yang pecinta alam ini pun akhirnya merasa bosan (baca: iri karena cuma bisa melihat yang dipamer-pamerin di film ini saja, hehe).

Tokoh & Kekagetan
Tokoh utama dalam film ini, pikir saya, adalah Mazmur. Si bocah asli Papua, berambut keriting, kulit hitam, sehari-harinya penuh bekas tanah di tangannya, dan juga di kaki yang tidak mengenal sandal dan sepatu. Anak yang riang tapi juga kadang begitu perasa saat ibunya dipukuli ayahnya atau ayahnya pulang dalam keadaan mabuk.
Walaupun demikian, di opening credit, saya melihat nama Laura Basuki muncul paling atas bersama Lukman Sardi, menandakan bahwa 'sebenarnya' merekalah tokoh utama. Laura Basuki berperan sebagai Vina, istri dari Michael, pamannya Mazmur yang tinggal dengan mapan di Jakarta. Satu jam setelah film berjalan, Vina dan Michael diminta pulang ke Papua karena ayah Mazmur tewas. Peristiwa kematian inilah yang kemudian berbuntut sangat panjang dan menjatuhkan korban-korban jiwa dan kerugian materi di desa itu. Perang antar kelompok warga terjadi, yang kalau kita mau menyimpulkan secara miris: pemicunya tak lain adalah kemiskinan. Kemiskinan di tanah paling kaya di nusantara.
“Gimana enggak pada minta merdeka?” begitu lirih Vina saat mendapati bahwa belanjaannya yang ‘hanya’ berupa dua karung beras ditambah minyak goreng dan lain-lain yang tidak begitu banyak dihargai tiga juta delapan ratus ribu oleh pemilik warung di desa itu. Betapa tidak masuk akal, dan betapa ini menunjukkan bahwa teramat berat yang harus dipikul warga di sana untuk sekadar makan pakai nasi.
Sempat saya memosisikan diri sebagai backpacker, dalam memandang situasi di desa tersebut. Seorang atau sekelompok backpacker mungkin akan dengan sangat mudah bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan desa itu, di mana mereka harus tidur di lantai bambu berderit, sulit untuk ngecas hape, mandi dan buang air hanya bisa dilakukan di sungai, dan mengonsumsi makanan yang rupa dan kualitasnya beda jauh dengan apa yang bisa dimakan di perkotaan. Tapi, untuk orang-orang seperti Vina yang terbiasa dengan fasilitas, tinggal sejenak di desa ini memang menjadi suatu kekagetan yang sangat. Inilah yang menyebabkan air matanya jatuh berkali-kali karena tidak tahan pada kondisi itu. Lagipula, tujuan dia datang ke Papua bukan untuk jalan-jalan. Sementara itu, meskipun backpacker datang dengan tujuan menjelajah dan mudah beradaptasi,shock tetap akan melanda mereka juga karena ongkos ‘menggembel’ di tanah yang terlalu indah itu sangat tidak main-main.

Di film ini Lukman Sardi berperan sebagai seorang pendeta yang taat dan cukup disegani. Sebagai seorang mantan muslim, cukup wajar kalau dia bisa menjiwai perannya dengan sangat baik. Meski, kalau kita mengingat perannya sebagai Kiai Haji Ahmad Dahlan di film Sang Pencerah beberapa tahun lalu, kontras sekali, ya...
Kekakuan peran setidaknya saya lihat pada ibunya Mazmur di awal-awal akting, terutama saat adegan ia menelepon Michael sambil nangis-nangis tidak natural. Selebihnya, peran tokoh-tokohnya lainnya lumayan bagus, termasuk Agus Ringgo yang tidak diragukan lagi aktingnya. Saya menyukai Mazmur dan Thomas, dua bocah lelaki yang berteman baik, dengan keceriaan, kelucuan, dan kepolosan di wajah dan tindak-tanduk mereka. Bersama sekelompok teman-temannya, saya merasakan kecerdasan dan kesabaran mereka meredam kerinduan akan guru baru. Kalau mereka dekat, ingin saya menjadi guru mereka, mengajak mereka bercerita banyak hal. Jika memang mereka ini bisa kita anggap perwakilan anak-anak Papua, saya melihat mereka sesungguhnya berbakat dan mudah untuk diajari.

Antiklimaks dan Paradoks
Kemiskinan memang sampai saat ini masih menjadi salah satu pemicu terbesar kejahatan dan kebrutalan. Alur Di Timur Matahari dibuka dengan kedamaian yang syahdu dan sendu, lantas digiring kepada satu per satu klimaks mulai dari keterkaitan dengan denda adat, hingga perang antar kelompok warga. Rangkaian kekagetan, kecemasan, keharuan, dan keterpukulan disajikan secara kompleks.
Hingga akhirnya... durasi hampir habis, dan antiklimaks harus diputuskan, untuk menyelesaikan konflik yang makin memuncak di lima belas menit terakhir. Barulah saya merasakan satu ketidakpuasan plot di sini. Tajamnya konflik digambarkan berhasil redam oleh nyanyian yang dibawakan oleh Mazmur, disusul Thomas, Suryani, Bu Dokter, dan lain-lain. Solusi dengan bernyanyi ini (yang alhamdulillah tidak ditambahi dengan tarian-tarian dan hujan... *Bollywood-banget dunk*) mungkin dipilih oleh sang penulis skenario karena sedikit kesulitan menemukan solusi yang tak biasa, untuk menghentikan konflik yang terlalu ‘biasa’ di tanah itu. Maka dipilihlah sebuah nyanyian yang--kalau saya tebak--berisi permintaan kesadaran dan mengingat Tuhan (makanya saya tadinya berharap ada teks terjemahan yang menyertai nyanyian full-bahasa daerah ini). Dalam konteks mereka yang sedang berada di arena perang itu dan memahami arti lagu tersebut, mungkin agak wajar kalau mereka kemudian tersentuh lalu menghentikan konflik yang sudah sangat memanas. Tapi saya pribadi, kok ya gagal tergugah.

Twist
Di penutup cerita, muncul seorang bocah berusia tiga tahunan berlari di lapangan hijau lalu duduk di beranda. Tangannya menemukan bendera merah putih ukuran kecil yang terkapar. Saya yakin, sebagian besar penonton menebak mungkin si bocah akan mengelap ingusnya dengan bendera itu. Tapi, di sinilah duet Alenia yang membuat film keren ini membuktikan kedahsyatan mereka: dugaan itu malah berkebalikan dengan yang terjadi. Si bocah malah mengangkat bendera itu dan melambai-lambaikannya secara alami sebagai bocah yang tidak tahu apa-apa. Makna simbolisnya, saya rasa, bahwa Papua yang tak berdaya masih mempertahankan harapan pada Indonesia.


***
Demikianlah. Baru kali ini saya menulis review sepanjang ini. Dan sepertinya juga baru kali ini saya agak kesulitan menentukan bagaimana caranya menceritakan secara runtut apa yang saya rasa dan pikir tentang sebuah film. Film yang saya akui, sangat keren, dan masuk ke dalam jajaran film-film favorit saya. Saya tutup dengan beberapa poin kecil ya…
-          Paradoks di film ini begitu jelas tergambar. Surga alam Papua, kontras dengan kemiskinan orang-orang yang berdiam di atasnya. Tanah yang kaya akan gunung-gunung emas dan tembaga, tapi warganya sendiri tidak pernah mencicipinya sama sekali. Harta itu dikeruk semaruk-maruknya oleh pihak asing sampai 60 tahun kontrak ke depan (CMIIW) di perusahaan-tambang-yang-kita-semua-tahu-namanya-itu, dan seujung kukunya dikirim ke pemerintah pusat.
-          Hal-hal yang saya missed: Agus Ringgo di situ profesi spesifiknya apa ya? Lalu si bu dokter muda, siapa yang menugaskannya di sana? Dan walaupun di credit title saya membaca nama beberapa desa yang dipakai sebagai lokasi syuting, tapi untuk desanya si Mazmur ini… apa ya nama desanya? Dan posisinya di titik mana Papua? Oke, anggaplah ini pengaruh roaming saya. Tapi kalau teman-teman berhasil menemukan jawabannya saat nonton film ini, beri tahu saya, ya.
-          Saya sempat menangis dua kali saat nonton film ini. Padahal tadinya saya sudah merencanakaaan banget untuk tidak nangis. Tapi ternyata ga’ tahan boo’…
-          Di belakang rumah Pak Pendeta (Lukman Sardi), ada gunung hijau yang posturnya mirip Gunung Sadahurip di Garut. Eh, jangan-jangan… ada piramida terpendam juga di dalamnya, hehehe… *otak-arkeolog*






Sponsored Links [?]
Use this space to advertise your product to millions of shoppers on Multiply. Target your products on other Multiply Seller's pages. Connect real customers to your shop.
 
With so many choices, buyers want to shop at Multiply Stores they can trust. Increase your sales by getting verified today!
about sponsored links
20 CommentsChronological   Reverse   Threaded
fightforfreedom wrote on Jun 27
Reviewnya menarik.
Soal solusi pada kisah yg diangkat sepertinya bakal sulit & tidak sederhana, mengingat terlalu banyaknya kepentingan yg bermain di sana.

Guna menikmati keindahan bumi Papua, film ini saya masukkan list untuk dibeli DVD-nya.
j4uharry wrote on Jun 27
hooho, TFS
azzuradayana wrote on Jun 27
Reviewnya menarik.
Soal solusi pada kisah yg diangkat sepertinya bakal sulit & tidak sederhana, mengingat terlalu banyaknya kepentingan yg bermain di sana.

Guna menikmati keindahan bumi Papua, film ini saya masukkan list untuk dibeli DVD-nya.
 
Betul. Sebagai penulis, jika dihadapkan pada konflik ini, saya juga yakin bahwa saya akan kesulitan untuk mencari solusi yang hebat dan berbeda sebagai ending...
azzuradayana wrote on Jun 27
j4uharry said
hooho, TFS 
sama2.. :) nonton yaa...
j4uharry wrote on Jun 27, edited on Jun 27
ReviewReviewReviewReview
sama2.. :) nonton yaa... 
ada sih renca tapi nampaknya tertunda lagi
azzuradayana wrote on Jun 27
j4uharry said
ada sih renca tapi nampaknya tertunda lagi 
:-) Atau tunggu nanti pas tayang di TV *lamaa
j4uharry wrote on Jun 27
:-) Atau tunggu nanti pas tayang di TV *lamaa 
ahaha, lucu aja !

* gak seru pasti banyak yg dipotong + bonus iklan yg seabrek2
azzuradayana wrote on Jun 27
j4uharry said
ahaha, lucu aja !

* gak seru pasti banyak yg dipotong + bonus iklan yg seabrek2
 
pastinya... :D
kopiradix wrote on Jun 27
“Gimana enggak pada minta merdeka?” begitu lirih Vina saat mendapati bahwa belanjaannya yang ‘hanya’ berupa dua karung beras ditambah minyak goreng dan lain-lain yang tidak begitu banyak dihargai tiga juta delapan ratus ribu oleh pemilik warung di desa itu. Betapa tidak masuk akal, dan betapa ini menunjukkan bahwa betapa berat yang harus dipikul orang di sana untuk sekadar makan pakai nasi. 
Astaghfirullah, mereka harus bayar 3 juta lebih hanya untuk beli beras dan minyak goreng?? *speechless*
azzuradayana wrote on Jun 27
kopiradix said
Astaghfirullah, mereka harus bayar 3 juta lebih hanya untuk beli beras dan minyak goreng?? *speechless* 
iya, sedih ya :(
tiarrahman wrote on Jun 27
belum tertarik nonton yang ini juga.
azzuradayana wrote on Jun 27
tiarrahman said
belum tertarik nonton yang ini juga. 
sayang sekali, hoho. tapi ya ga pa-pa, mas :D
kopiradix wrote on Jun 27
bahkan ada tokoh liberal yang bilang kalau Papua mau merdeka ya biar saja :(
azzuradayana wrote on Jun 27
kopiradix said
bahkan ada tokoh liberal yang bilang kalau Papua mau merdeka ya biar saja :( 
entahlah

dulu 'kita' berdarah-darah memperjuangkan mereka ikut Indonesia dan lepas dari intervensi asing, sekarang mereka 'berdarah-darah' minta merdeka dari Indonesia....

mereka terjajah pihak asing dan pemerintah pusat (Soeharto) yg memberi ijin (penjajahan) itu. setumbangnya Soekarno. siapa dari kita yg bersedia melirik Papua dengan sesyahdu ini?

*komentar saya sbg awam*
lovusa wrote on Jun 27
baruuuu aja nonton film ini bareng cha kemaren.
sama kaya yana, aku sukaaaa :)

cha ikutan nangis waktu bapaknya thomas n suryani meninggal kena tombak. sayang film sebagus ini sepi penonton. aku termasuk yang pengen menikmati film alenia di bioskop :) pemandangannya itu lhooo, nggak nahaan.. cakep banget!
masfathin wrote on Jun 27
Biasanya aku gak ketinggalan film2 Alenia, semoga yg satu ini sempat nonton. Amiiin
azzuradayana wrote on Jun 27
lovusa said
baruuuu aja nonton film ini bareng cha kemaren.
sama kaya yana, aku sukaaaa :)

cha ikutan nangis waktu bapaknya thomas n suryani meninggal kena tombak. sayang film sebagus ini sepi penonton. aku termasuk yang pengen menikmati film alenia di bioskop :) pemandangannya itu lhooo, nggak nahaan.. cakep banget!
 
yoa, mb kasih berapa bintang? :)
view-nya emang cakep2 banget. kaga nahan, jadi iri karena cuma bisa lihat lewat film saja, hehe
azzuradayana wrote on Jun 27
masfathin said
Biasanya aku gak ketinggalan film2 Alenia, semoga yg satu ini sempat nonton. Amiiin 
aamiin.. buruan ya :D
dewayanie wrote on Jun 27
Belum nonton Yan... 
azzuradayana wrote on Jun 28
dewayanie said
Belum nonton Yan... 
ayo mbaa... nontonlah :) di TV masih lama, hehe